“’Sesungguhnya Allah itu mempunyai keluarga yang terdiri dari manusia.’ Lalu Rasulullah saw. Ditanya: ‘Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘yaitu Ahlul Quran (Orang yang membaca atau menghafal Al-Quran dan mengamalkan isinya). Mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang yang istimewa bagi Allah.’” (HR.Ahmad)
Konversi Waktu: Menyelaraskan Produktivitas dan Interaksi Qurani
Carut marut globalisasi telah membuka jutaan lubang hitam dalam hati manusia. Probabilitas akses terhadap wahana-wahana sarat maksiat semakin tinggi: hanya dengan menekan tuts-tuts keyboard laptop atau komputer seseorang dapat mendapatkan koneksi terhadap miliaran bentuk informasi sehingga menyebabkan orang tersebut rela mengorbankan waktunya menyelam bebas dunia fana dalam dunia yang sudah fana ini. Berbagai bentuk hobi yang seharusnya dijadikan sebagai salah satu sarana perwujudan potensi dan bakat manusia terkadang malah dijadikan prioritas nomor satu dalam hidup: hobby is life, life is hobby! Ketertarikan manusia terhadap berbagai produk-produk duniawi memang bukan suatu hal yang salah asal hal tersebut proporsional, namun terkadang fenomena berlebihan dalam hal-hal yang diperbolehkan justru membuka kubangan baru yang mengubur berbagai kesempatan-kesempatan mendapatkan kelezatan-kelezatan ukhrawi. Salah satu potensi tersebut adalah menghafal dan bermesraan dengan Al-Quran.
Berikut nasihat dari Fudhail bin Iyadh dari generasi Tabi’in :
“Penghafal al-Quran adalah pembawa bendera Islam. sangat tidak layak baginya larut dalam senda guarau sebagaimana orang-orang yang bersenda gurau, dan tidak layak baginya larut dalam keadaan alpa seperti orang yang alpa. Tidak layak juga baginya larut dalam kelalaian dan permainan bersama orang yang lalai.”
Memang menjadi keluarga Allah bukanlah sesuatu yang didapatkan dengan mudah. Untuk menjadi spesial, usaha pun harus spesial. Oleh karena itu seorang huffadz (penghafal/penjaga Al-Quran) harus menyeleksi prioritasnya. Tentu menghafal Quran bukan perkara yang mudah sehingga diperlukan waktu-waktu khusus untuk bermesraan dengan kitab suci tersebut. Konversi waktu, dari hal-hal yang bersifat senda gurau dan menyudutkan kita ke dalam keadaan alpa dan lalai menjadi sebuah quality timekhusus untuk Quran. Bagaimana jika saking sibuknya kita tidak dapat meluangkan waktu pada hari-hari kerja kita? Saya mengenal seorang akhwat yang hafal Quran, beliau mengonversi waktu tidurnya di malam hari khusus untuk berinteraksi dengan ayat-ayat Allah sehingga tidurnya pun hanya 2-3 jam sehari. Ya, menghafal memang perlu waktu, namun waktu yang kita korbankan untuk menghafal tak akan pernah kita sesali.
Inisiasi Bi’ah Quraniyyah
Teringat nasihat syeikh saya di pesantren yang kurang lebih redaksinya : ‘Mempelajari imu tarbiyatul aulaad (membina anak) sejatinya bukan ketika kita sudah memiliki anak, namun ketika kita menentukan calon ibu anak yang hendak kita bina’. Inti dari nasihat tersebut adalah mempersiapkan generasi penerus sejak dini. Keluarga apa yang ingin dibangun? Pasangan seperti apa yang ingin dijadikan pendamping hidup untuk membina anak-anak kita seperti apa yang dicita-citakan? Jawaban ini dapat anda temukan dalam buku “10 Bintang Penghafal Al-Quran” yang menceritakan suatu keluarga yang seluruhnya adalah huffadz, namun tak berhenti sampai situ, setiap anggota keluarga memiliki peran dan kontribusi terhadap lingkungannya, entah itu dengan menjadi akademisi, aktivis sosial politik dan sebagainya. Dalam National Leadership Camp Program 2014 Program Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis, Dra. Wirianingsih, sang ibu dari kesepuluh anak tersebut bercerita bahwa salah satu prinsip beliau dalam mendidik keuarga adalah bagaimana menata waktu kita agar berkah dan bertambah setiap saat (ziyadatul khairi). Ibnu Qayyim berpesan bahwa ada tiga kunci untuk mendapatkan berkah setiap saat: jangan sampai terjadi kekosongan hati, jangan sampai terjadi kekosongan akal serta berkumpullah dengan orang-orang yang shaleh.
Dra. Wirianingsih bercerita bahwa yang menagih setoran hafalan Quran anak-anaknya setiap hari adalah beliau sendiri. Ya, kita perlu menginisiasi bi’ah Quraniyyah (lingkungan Qurani) mulai dari sekarang dan dari diri kita sendiri.
Peradaban dan Para Huffadz: Kontekstualisasi Nilai Qurani dalam Tatanan Sosial
Huffadz. Mereka tidak hanya menghafal Quran, namun mereka mengontekstualisasikan esensi dari Al-Quran melalui kepribadian dan perilaku mereka. Tahukah engkau Izzudin Al-Qossam? Mereka tidak hanya hafal al-Quran, namun kobaran semangat berjihad mereka ketika membela tanah air mereka merefleksikan ayat-ayat Al-Quran tentang jihad dan qital yang mereka hafal. Tahukah engkau Sultan Mehmet II atau biasa dikenal dengan Muhammad Al-Fatih? Sifat-sifat semangat dalam menuntut ilmu, kepemimpinan serta intensitas ibadahnya merupakan penerapan dari ayat-ayat Al-Quran yang dihafalnya sehingga menggerakkan sang penakluk Konstantinopel itu untuk selalu terbangun di malam hari menegakkan qiyamul lail. Tahukah engkau Dra. Wirianingsih? Beliau merupakan seorang aktivis sosial politik yang aktif berkontribusi bagi lingkungan sekitarnya, namun beliah juga seorang hafidzah. Beliau berprinsip bahwa seorang wanita itu menggendong anak di tangan kanannya sekaligus mengguncang dunia dengan tangan kirinya.
Mereka adalah para huffadz Quran yang meninggalkan artefak dalam sejarah peradaban, bukan hanya dengan kapabilitas mereka sebagai para ‘penghafal’ namun sebagai ‘penjaga’ nilai-nilai dalam Quran. Tidak hanya menjadi seseorang yang berkontribusi besar pada lingkungan dan peradaban namun menjadi ahlullah atau bagian dari keluarga Allah. Bukankan itu hal yang sangat mulia?
Bagaimana mau membangun peradaban jika tidak berkontribusi membangun masyarakat atau lingkungan sekitar? Bagaimana mau membangun masyarakat sekitar jika tidak membangun keluarga dengan profil Qurani seperti apa yang dicita-citakan? Bagaimana mau membangun keluarga Qurani jika tidak membangun diri sebagai pemuda dengan profil Qurani? Tulisan ini merupakan autokritik sekaligus motivasi untuk kita semua. Jika Al-Quran hidup di hati kita, maka segalanya akan terasa indah.
penulis: Muhammad Hamzah, Mahasiswa Institut Teknologi Bandung
Posting Komentar