Modal Lambang Gajah
Bukan sekali, namun sudah lebih dari 3 kali saya mencoba berbagai kesempatan untuk menapaki negeri 1000 gempa. Momen ketika mendengar kabar gembira dari International Relations Office ITB yang menyatakan lolosnya saya dalam seleksi program exchange ke Jepang merupakan sebuah momen yang saya visualisasikan sejak bertahun-tahun yang lalu. Ketika itu saya tidak benar-benar menyangka upaya ‘iseng-isengan’ saya dalam mengumpulkan aplikasi berbuah kesempatan berharga selama setahun mereguk ilmu riset di Tohoku University. Saya mulai merenungi apa sebenarnya yang membuat saya lolos. Kalau di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH), yang mendapatkan kesempatan untuk exchange ke Jepang biasanya merupakan Mahasiswa Berprestasi (Mapres) atau mahasiswa ber IPK super dan memiliki kecakapan bahasa Inggris yang bagus. Kalau dirata-ratakan, mungkin IP saya tergolong mediocre di jurusan saya, lebih rendah dari teman-teman seangkatan saya yang banyak ber-IPK cum laude. Terlebih lagi structurebahasa Inggris saya yang blak-blakan serta prestasi di curriculum vitae yang minim, agak sulit membayangkan saya bisa sukses bersaing dengan orang-orang lain yang memiliki kapasitas diatas saya. Bisa dibilang saya hanya bermodalkan ‘lambang gajah’, sebuah institut pendidikan prestisius yang memiliki alumni-alumni tersohor di luar sana.
Memang ketika Allah dianggap sebagai determinant factor dalam sebuah upaya menggapai mimpi, segalanya berubah. Dengan bermodalkan sebuah CV, TOEFL yang sedikit lebih tinggi di atas syarat dokumen serta transkrip IP saya yang pas-pasan, dan sebuah letter of purpose, Allah berhasil mentransformasinya menjadi sebuah titik tolak yang luar biasa dalam hidup saya. Ketika baru selesai mengisi materi untuk para pendiklat OSKM ITB 2014, handphone saya bergetar dan menampilkan sebuah SMS yang menyatakan kelolosan saya dalam program Junior Young in Program in English plus lolos sebagai beaswan JASSO. Entahlah, mungkin upaya menggarap keberkahan tersebutlah yang menjadi faktor pendukung kuat dalam kelolosan saya, ditambah dengan doa dari ibu saya yang tak pernah terputus. Satu kata yang menyuci bersih karat-karat pesimisme ketika mengenang tentang keterbatasan diri saya adalah potongan dari surat Al-Baqarah ayat 286: “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya…”
Penantian Loker Kosong dan Kehidupan Baru
Kedatangan pertama saya di Jepang dimulai dengan transit melalui 2 bandara lalu melaju menaiki kereta dari Narita International Airport ke stasiun Shinjuku, stasiun kereta tersibuk di dunia. Saya bersama teman saya, Michael, mengalami sebuah penantian yang cukup panjang sambil menunggu bus malam. Di waiting room Willer Express terdapat loker dengan berbagai ukuran untuk menyimpan tas dan koper para penumpang. Pada waktu itu Michael membawa koper yang super besar, terlebih lagi loker dengan ukuran terbesar sudah terisi semua sehingga kami terpaksa mengawasi koper-koper kami sambil menunggu loker kosong dengan menjaga radius kami dengan koper. Boro-boro menanti pasangan hidup, menunggu loker kosong saja kami gerah. Setelah 3 jam menunggu bersama minuman segar dari vending machine, akhirnya ada seseorang yang sudah selesai menggunakan loker besar sehingga kami langsung menyimpan koper dan keluar menikmati angin malam segar dan hujan rintik-rintik di sekitar stasiun Shibuya lalu kembali menunggu bus di waiting room selama kurang lebih 2 jam. Pada jam 24.15, kami berhasil duduk di kursi empuk bus dan menutup mata untuk penantian berikutnya ke kota Sendai. Sungguh malam yang romantis.
Kota Sendai merupakan kota yang sejuk dan kerap dikenal dengan Mori no Miyako atauThe City of Trees. Tohoku University merupakan universitas terbesar di Sendai dengan 2 kebijakan yang menarik, yaitu open door policy dan research first policy. Keterbukaan terhadap mahasiswa Internasional menjadikan universitas ini memiliki diversitas yang tinggi dan telah menambah akses makanan halal di kampus. Bahkan ketika saya dan lab saya mengadakan sebuah tradisi Tohoku dengan tema ‘makan sup kentang di pinggir sungai’, mereka khusus membelikan saya 4 kg daging halal untuk di barbeque.Penempatan prioritas riset yang tinggi juga telah menyemai banyak laboratory basedactivities yang berorientasi pada pengembangan tema masing-masing lab. Lab di Jepang seperti sebuah keluarga, sensei atau professor yang bertanggung jawab sangat ramah terhadap anggota lab. Kebetulan saya masuk Reaction Process Engineering Laboratory dan mendapat topik mengenai produksi biodiesel menggunakan ion-exchange resin. Untungnya, walaupun tidak fokus pada biologi molekular, masih terdapat konsep engineering yang fundamental dan bisa saya ekstrak dan implementasikan di tugas akhir saya kelak yaitu kinetika kimia.
Selain riset, para peserta JYPE juga mengikuti berbagai mata kuliah. Mata kuliah yang banyak diambil adalah bahasa Jepang dan Japanese Culture. Sungguh menarik mempelajari budaya Jepang melalui sebuah bingkai historis dan karya-karya para penulis di Jepang. Namun yang membuat saya kagum bukan pada budaya-budaya simbolik seperti kuil dan tari-tarian, karena jika dibandingkan dengan negara kita, jelas Indonesia memiliki budaya yang lebih diverse. Budaya yang lebih menarik untuk dipelajari adalah budaya perilaku orang-orang Jepang. Mulai dari pekerja di supermarket sampai parasensei di universitas, walaupun sebagian besar sulit berkomunikasi dengan bahasa Inggris, mereka memiliki sikap totalitas dalam mengerjakan tugas-tugas mereka. Dari menyiapkan layar proyektor sendiri sampai mengadakan praktikum isolasi DNA kecil-kecilan di kelas, terlihat seberapa besar semangat mereka untuk mentransfer materi ilmu kepada murid-muridnya. Mengerjakan suatu dengan sungguh-sungguh sudah merupakan hal yang biasa bagi mereka sehingga tak heran jika Jepang diklasifikasikan dalam Global Competitiveness Index sebagai negara pada grup Innovation-driven economies. Indonesia yang termasuk efficient-driven economy, masih berfokus pada produksi yang efisien karena pendapatan penduduknya yang masih menengah. Hal ini tergambar dari sikap orang Indonesia yang selalu mencari yang murah dan enak, mungkin mental efisiensi memang sudah tertanam pada masing-masing individu. Jepang, sebagaimana negara-negara barat sudah fokus pada bagaimana meningkatkan standar hidup mereka melalui berbagai groundbreaking innovations dan teknologi lainnya.
Momiji dan Ekstrak Hikmah
Pengaruh interaksi antar hormon etilen dan auksin pada daun yang memasuki fase absisi menunjukkan sebuah kemegahan alam yang luar biasa. Saya mendapat kesempatan untuk menyaksikan gugurnya daun maple merah atau momiji di Jepang bersama rekan-rekan Persatuan Pelajar Indonesia Sendai. Perasaan syukur mendapat keluarga baru dari Indonesia serta teman-teman dari berbagai belahan bumi lainnya mengingatkan saya akan banyak hal yang saya tinggalkan di Indonesia. Mulai dari keluarga, amanah-amanah yang tak dapat diselesaikan, serta masa kuliah yang tertunda terkadang membuat saya merenung dan mempertanyakan banyak hal. Apa tidak apa-apa saya meninggalkan amanh tersebut begitu saja? Apakah saya bisa lulus sesuai target? Apakah saya bisa membalas jasa orang tua yang telah membiayai tiket pesawat dan mengorbankan waktunya untuk membantu perisapan saya ke Jepang? Setelah membaca beberapa buku dan menonton beberapa video di TED, saya jatuh pada sebuah realisasi bahwa saya harus mengambil hikmah sebanyak-banyaknya selama berada di jepang. Susan Cain dalam sebuah konferensi di TED berpesan bahwa terkadang manusia melupakan the power of solitude. Kesendirian yang membuat manusia berpikir dan menghasilkan berbagai ide, karena walaupun berinteraksi itu merupakan hal yang sangat baik, namun manusia perlu menyeimbanginya dengan menyediakan waktu sendiri untuk berpikir, membaca ataupun menulis. Frans Johansson dalam bukunya The Medici Effect menjelaskan bahwa fase yang terdiri dari berbagai upaya manusia menghasilkan ide untuk sebuah inovasi dinamakan incubation period. Dengan akses pengetahuan yang lebih luas dan waktu berpikir yang lebih leluasa, saya sangat yakin bahwa Allah sedang berusaha menyiapkan saya untuk menjadi manusia yang lebih dapat membuka pikiran lebih luas serta, melahirkan berbagai karya sehingga dapat lebih berguna dari sebelumnya, sehingga kelak dapat memberikan manfaat yang lebih banyak ketika kembali ke Indonesia.
Muhammad Hamzah,
Sendai-shi, Miyagi
Muhammad Hamzah,
Sendai-shi, Miyagi
Posting Komentar