Democracy is the theory that the common people know what they want, and deserve to get it good and hard” – H. L. Mencken
Jika kita membaca seuntai kata
tersebut dengan seksama, kita pasti teringat akan topik hangat yang baru saja
melanda Bangsa ini, ya…RUU Pilkada.
Berbicara mengenai RUU Pilkada, sebagian masyarakat mungkin seakan
acuh tak acuh terhadap peristiwa ini. Sebagian masyarakat mungkin akan sangat concern dengan masalah ini. Dan sebagian
lainnya malah mungkin tidak tahu sama sekali akan masalah ini.
Aku sendiri pun mungkin tidak akan tahu akan masalah polemik yang
tengah melanda bangsa ini jika tidak melihat poster-poster yang melekat erat
pada mading-mading di Gedung Kuliah Umum (GKU) Timur Institut Teknologi Bandung
ini:
Hanya satu
pertanyaan yang muncul di benakku saat itu: “Apa itu RUU Pilkada sampai-sampai
mungkin bisa menghapus sifat-sifat luar biasa dari para pemimpin bangsa ini?”
RUU Pilkada yang baru saja disahkan membuat sebagian masyarakat
Indonesia resah. Wajar saja, mereka beranggapan bahwa RUU yang menggantikan UU
No. 32/2004 yang telah berlaku sekitar belasan tahun itu seakan menghilangkan
konteks demokrasi dari isinya. Di RUU yang baru saja disahkan itu, tertulis
bahwa Pemilihan Kepala Daerah tidak akan dilakukan secara langsung oleh rakyat,
tapi dilakukan secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Sebagian masyarakat itu tentunya tidak akan pernah bisa lepas dari
kenangan buruk rezim Soeharto yang berkuasa selama sekitar 32 tahun. Ketika
itu, jiwa demokrasi setiap manusia seakan direnggut oleh pemerintah sehingga
jangankan untuk memilih presiden, berpendapat di depan umum pun masyarakat akan
berpikir dua kali terlebih dahulu. Karena itulah sebagian masyarakat itu dengan
lantang menolak adanya RUU Pilkada ini.
Lantas, apa hal yang
pertama kali mendasari adanya RUU Pilkada ini? Sebagian pihak menilai ada
banyak kekurangan dalam pelaksanaan pemilu langsung di Indonesia ini. Yang
pertama, penyelenggaraan pemilu langsung di Indonesia akan menghabiskan banyak
biaya untuk kotak suara, panitia pemilu, serta distribusi logistik ke seluruh
daerah di Indonesia. Alangkah baiknya jika biaya yang digunakan untuk
kepentingan pemilu langsung ini dialokasikan ke sektor pembangunan ataupun
sektor-sektor yang membutuhkan lainnya. Yang kedua, dalam pelaksanaan pemilu
langsung akan banyak kita temui kecurangan-kecurangan yang terjadi seperti
praktik money politics maupun suap
kepada panitia pemilu.
Lalu, apakah dengan berlakunya RUU Pilkada ini
masyarakat akan benar-benar kehilangan jiwa demokrasinya? Jawabannya tidak
karena pada dasarnya orang-orang yang bertanggungjawab melakukan Pemilihan
Kepala Daerah nantinya (DPRD) adalah perwakilan rakyat yang telah dipilih
rakyat untuk berkontribusi memperjuangkan hak-hak dan aspirasi-aspirasi rakyat.
Sekarang memang kondisi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia cukup
mengenaskan karena sangat banyak anggota DPRD maupun DPR yang terjerat kasus korupsi
sehingga membuat kita ragu Pemilihan Kepala Daerah akan diwakilkan kepada
mereka. Namun, yang perlu kita garis bawahi adalah kita tidak akan kehilangan
jiwa demokrasi kita karena kita juga mempunyai tanggung jawab untuk mengawasi
dan mengkritisi anggota DPRD, tidak hanya memilih saja.
Setiap sistem pasti tidak ada
yang sempurna, selalu ada kekurangan dan kelebihan masing-masing. Karena itu,
marilah kita pilih sistem yang paling sesuai dengan kondisi masyarakat kita
sekarang. Kita bisa berkaca pada Amerika Serikat bahwa pemilihan tidak langsung
yang dilakukan di beberapa negara bagiannya juga berdampak positif. Yang perlu
kita lakukan sekarang di samping memilih anggota perwakilan rakyat terbaik
nantinya adalah tetap mengkritisi kinerja masing-masing anggota DPRD, serta
tetap berpola pikir terbuka atas segala sesuatu hal yang terjadi.
Penulis: Haris Askari, Mahasiswa Teknik Kimia ITB 2013 / PPSDMS Regional 2 Bandung Angkatan 7
Opini dimuat di media Suara Jakarta: http://suarajakarta.co/opini/ruu-pilkada-masih-pantaskah-jiwa-demokrasi-berbicara/
Posting Komentar